<< KembaliSabtu 28 Juli 2012( 08 Ramadhan 1433 H )
TAUBATAN NASUHADisusun oleh Drs. Ruhiyat Sadkar
Ya ayyuhalladzina amanu tubu
ilallah tawbatan-nasuha. Asa
robbukum an-y-yukaffiro’ankum
sayyiatikum wayudkhilakum
jannatin tajri min tahtihalanhar.
Yawma layukhzillahu-n-nabiyya walladzina amanu ma’ahu,
nuruhum yas’a bayna aydihim
wa biaymanihim, yaquluna
robbana atmimlana nurana
waghfirlana, innaka ‘ala kulli
syayin qodir (At-Tahrim:9).
" Hai, orang-orang yang beriman!
Bertobatlah kepada Allah dengan
seikhlas-ikhlas tobat. Semoga
Tuhanmu akan menghapuskan
dari kamu keburukan-
keburukanmu dan akan memasukkanmu ke dalam surga-
surga, yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai, pada hari ketika
Allah tidak akan menghinakan
nabi maupun orang-orang yang
beriman besertanya. Cahaya mereka akan berlari-lari di
hadapan mereka. Mereka akan
berkata, “Hai Tuhan kami,
sempurnakanlah kiranya cahaya
kami bagi kami dan ma’afkanlah
kami; sesungguhnya, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."
Ayat yang sangat indah ini
mengajarkan kepada kita,
pengertian dan pemahaman
mengenai beberapa hal yang
penting untuk kita hayati,
diantaranya sebagai berikut:
(1). Bahwa kehidupan Surgawi itu
hanya bisa dicapai dengan
menjalankan kehidupan yang
bersih, bebas dari keburukan-
keburukan. Dan terbebasnya
seseorang dari keburukan- keburukan tersebut bukanlah
karena kekuatannya sendiri,
melainkan berkat Allah swt.
Sendiri yang membersihkannya.
Hal ini jelas tersirat dalam ayat:
Asa robbukum ayyukaffiroankum
sayyi’atikum, wa yudkhilakum
jannatin tajri min tahtihal anhar. Segera Tuhanmu akan
menjauhkan kamu dari
keburukan-keburukanmu, dan
memasukkan kamu ke dalam
surga-surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai.
Dalam ayat ini kehidupan surgawi
diibaratkan, atau diumpamakan,
sebagai kehidupan di dalam
kebun-kebun dimana di
bawahnya mengalir sungai-
sungai.
(2). Bahwa tahapan-tahapan
untuk meraih kehidupan surgawi
itu adalah :
Tahapan pertama: Iman atau keimanan
Tahapan kedua: Kembali atau taubat kepada Allah dengan
tawbatan nasuha.
Yang
dimaksud dengan Taubat Nasuha,
adalah sebagaimana yang
dijelaskan oleh ayat itu sendiri:
yaitu Taubat yang memungkinkan terjadinya:
“Asa
rabbukum ayyukaffiroankum
sayyi’atikum”, yakni: “Segera
Tuhanmu menghilangkan dari
kamu keburukan-
keburukanmu.”
Atau sebagaimana diterangkan oleh
Hz. Khalifatul Masih IV atba :
“Yang dimaksud dengan
Taubatan Nasuha adalah taubat
yang dalam pandangan Allah swt.,
memiliki potensi untuk memurnikan, membersihkan,
mensucikan diri.” Jadi arti dari
Taubatan Nasuha itu adalah:
berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi orang yang bersih
dari noda.
Dalam hal ini
mengisyarahkan adanya niat dan
tekad yang kuat untuk menjalani
suatu kehidupan yang bersih.
Tahapan Ketiga: Jika dalam pandangan Allah swt. usaha
keras tersebut sudah memadai
maka terjadilah
“Asa robbukum
ayyukaffiroankum sayyi’atikum”
tersebut.
Artinya, tangan Tuhan
sendiri yang akan membersihkan orang tersebut dari keburukan-
keburukannya.
Tahapan Keempat : Jika kebersihan diri tersebut sudah
dimilikinya, barulah ia atau
seseorang memasuki suatu
kehidupan surgawi.
Itulah empat tahapan yang harus
dilalui dalam mencapai kehidupan
surgawi tersebut.
(3). Bahwa ciri-ciri kehidupan
surgawi itu, yang dalam ayat ini
diibaratkan sebagai
“kehidupan
dalam kebun-kebun dimana
dibawahnya mengalir sungai-
sungai .” ;
yang jelas-jelas bahwa ayat ini harus ditafsirkan;
menunjukkan ciri- ciri sebagai
berikut :
--- 1. Allah tidak akan
menghinakan Nabi maupun
orang-orang yang beriman
besertanya.(Perlu
penafsiran)
--- 2. Cahaya mereka akan
berlari-lari di hadapan
mereka dan di sebelah
kanan mereka. (Perlu
penafsiran)
--- 3. Mereka akan berkata,
“Wahai Tuhan kami,
sempurnakanlah kiranya
cahaya kami bagi kami dan
maafkanlah kami,
sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (Perlu
penafsiran)
(4).Tafsir.
4.1. Tafsir kehidupan surgawi,
yaitu kehidupan di dalam kebun-
kebun dimana mengalir
dibawahnya sungai-sungai,
adalah : suatu kehidupan dengan
kondisi keimanan yang mampu melahirkan amal-amal saleh.
Hidup
dalam kualitas seperti itu akan
mendekatkan diri seseorang
kepada Rasulullah saw..
4.2. Ciri-cirinya :
--- 1. Orang yang memiliki
kehidupan surgawi
tersebut mempunyai sifat-
sifat seperti Muhammad
saw dan para sahabat
beliau, yakni sifat-sifat pokoknya : Siddiq, Amanat,
Tabligh, Fathonah. Dengan
demikian mereka tidak
akan membuat Rasulullah
saw dan para sahabatnya
merasa malu. Sebaliknya, jika mereka yang mengaku
menjadi umat Muhammad
tidak memiliki keempat sifat
pokok tadi, apalagi jika
malah mempunyai sifat-
sifat yang bertentangan dengan keempat sifat-sifat
tersebut, hal ini dapat
diartikan membuat malu
Rasulullah saw dan para
sahabat beliau.
---2. “Cahaya mereka akan
berlari-lari di hadapan
mereka dan di sebelah
kanan mereka”, artinya:
mereka akan selalu
memperoleh petunjuk dalam persoalan-persoalan
yang mereka hadapi, dan
segala tindakannya yang
dilakukan selalu akan
menghasilkan kebaikan-
kebaikan dan manfa’at- manfa’at.
1. Mereka akan
berkata, “Wahai
Tuhan kami,
sempurnakanlah
kiranya cahaya
kami bagi kami dan maafkanlah kami,
sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa
atas segala
sesuatu.” Artinya :
bahwa nikmat- nikmat Allah yang
mereka terima
tidak akan ada
putus-putusnya,
dan akan selalu
bertambah dan meningkat serta
mereka akan selalu
mendapat lindungan
maghfirah Tuhan,
berkat pengabulan
Tuhan atas do’a- do’anya tersebut.
Itulah kehidupan surgawi yang
dimulai dan terjadi di dunia ini
juga. Artinya: barangsiapa yang
berhasil memperolehnya di dunia,
berarti ia akan memperolehnya
juga di akhirat nanti. Ini analog dengan kaidah:
Barangsiapa buta
di dunia, maka ia akan buta pula
di akhirat (17:73)
(5). Adalah sangat menarik untuk
diperhatikan, bahwa yang diseru
dalam ayat ini, untuk kembali
(taubat) kepada Allah dengan
Taubatan Nasuha adalah orang-
orang yang beriman. Timbul pertanyaan : mengapa bukan
orang-orang yang memusuhi
atau yang melawan kebenaran
yang diseru untuk melakukan
Taubat dan Taubatan Nasuha
tersebut? Mengapa justru orang-orang yang beriman yang
diseru?. Dalam Alquran terdapat
beberapa istilah bagi mereka
yang melawan kebenaran
sebagai lawan-kata bagi istilah
“orang-orang yang beriman”, yakni umpamanya: Al Kafirun, Al
Munafikun, Al Kadzibun, Al
Fasiqun, Al Mujrimun, Al
Musyrikun, dsb.. Mengapa bukan
mereka yang diseru untuk
bertaubat dengan Taubatan Nasuha? Mengapa justru
“orang-orang yang beriman”
yang diseru? Hal ini berarti,
bahwa hanya orang-orang yang
beriman saja yang akan berhasil
melakukan Taubat dan Taubatan Nasuha; di luar golongan orang-
orang yang beriman, mereka
tidak akan mampu dan tidak
akan berhasil melakukannya,
kecuali, terlebih dahulu mereka
merubah kondisi mereka sehingga menjadi golongan
orang-orang yang beriman. Dan
perubahan kondisi seperti itu,
hanya bisa dilakukan melalui
mekanisme “Bai’at”. Dan Bai’at
hanya bisa dilakukan kepada Imam Zaman yang diberi otoritas
untuk itu dari Allah Swt..Oleh
karena itu, Bai’at merupakan
pranata keagamaan yang wajib
hukumnya, dan perintahnya
terdapat dalam Alquran (48:11).
Dan itulah pula sebabnya
mengapa Hadhrat Masih Mau’ud
a.s. menjelaskan bahwa
salahsatu hakikat Bai’at itu
adalah merupakan Taubat,
kembali kepada Allah. Dan menurut pemahaman saya
secara pribadi, mungkin ini
merupakan ijtihad, bahwa
pelaksanaan 10 syarat Bai’at
yang ditetapkan Beliau a.s.
(tentu saja atas dasar petunjuk Allah Swt.) adalah merupakan
pelaksanaan Taubatan Nasuha.
Jika kita berusaha sekeras-
kerasnya untuk memenuhi
tuntutan 10 syarat Bai’at
dengan hati yang sejujur- jujurnya, seikhlas-ikhlasnya,
berarti kita telah melakukan
Taubatan Nasuha dengan niat,
tekad dan ketulusan yang
sesungguhnya. Penilaiannya kita
serahkan kepada Allah Swt. Yang Maha Mengetahui ; dan apabila
dalam pandangan-Nya , usaha
kita itu telah cukup memadai,
maka tunggulah, pertolongan
Tuhan pasti akan datang untuk
menuntun kita memasuki kehidupan surgawi, yakni
kehidupan yang dinaungi
teduhnya Pohon Keimanan, yang
selalu diairi oleh mengalirnya
Sungai-sungai Amal Shalih, dan
selalu dibimbing oleh petunjuk Allah Swt. dalam menuju kearah
kebaikan-kebaikan, dan yang
selamanya memperoleh limpahan
karunia Ni’mat dan lindungan
Maghfirah-Nya serta kesejukan
Keridhaan-Nya. Jika hal ini tercapai, berarti kita akan
memperoleh Keselamatan dan
Ketenteraman. Mudah-mudahan.
Semoga Allah Swt. memberi taufik
kepada kita untuk meraihnya.
Amin.
(Rujukan: Khutbah Hz.Khalifatul
Masih IV atba Tanggal
01-12-1995 di Mesjid Fadhl
London; dimuat dalam Darsus
no.16/96, dengan judul “NUR
ILAHI’)
For feedback/comments :